Hak asasi manusia (HAM) sudah ada sejak manusia ada. HAM berasal dari status kita sebagai manusia, sehingga HAM bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Hanya saja, apa yang kita sebut sebagai HAM baru dikodifikasikan dan diformulasikan abad ini.

Deklarasi Universal tentang HAM (DUHAM) oleh PBB, 10 Desember 1948, antara lain, dilatarbelakangi berakhirnya Perang Dunia II, berisi 30 pasal, berfungsi sebagai perangkat hukum internasional yang terbagi dalam kovenan sosial politik (Sipol) dan ekonomi sosial budaya (Ecosob). Jadi, tidaklah keliru dikatakan dasar-dasar filosofis DUHAM adalan nilai-nilai humanisme, individualisme, dan liberalisme yang tumbuh di Barat modern.

Pasal-pasal dalam DUHAM itu ada yang ketat, ada pula yang longgar. Contoh, Pasal 16 DUHAM tentang hak untuk menikah dan berkeluarga. Dalam pasal itu, tidak ada indikasi dibolehkannya perkawinan sejenis. Oleh karena beberapa sifatnya yang longgar, negara pihak seperti Indonesia tidak secara otomatis seluruhnya mengikuti isi setiap pasal dari DUHAM PBB, walaupun Indonesia telah meratifikasi DUHAM PBB. Semua isi pasal harus disesuaikan dengan hukum nasional dan kondisi Indonesia.

Perangkat hukum yang paling mengikat adalah hukum nasional. Untuk isu di wilayah abu-abu (belum ada kesepakatan universal tentangnya) yang digunakan adalah hukum nasional. Contoh, Pasal 16 tentang hak untuk menikah dan berkeluarga yang berhubungan dengan isu pernikahan sesama jenis sampai saat ini masih termasuk wilayah abu-abu DUHAM PBB.

Indonesia adalah salah satu negara yang tidak membolehkannya. Di negara lain, ada yang membolehkan, seperti Belanda dan Amerika. Jadi, DUHAM PBB merupakan perangkat hukum internasional yang bertindak sebagai payung dalam bidang HAM.

Beberapa pasal dalam DUHAM masih bersifat longgar (kurang jelas), sehingga dibutuhkan penjelasan lebih lanjut dalam konvensi dan hukum nasional. DUHAM PBB dalam pelaksanaannya bergantung pada hukum nasional suatu negara (walaupun sudah meratifikasi DUHAM PBB) karena hukum yang paling mengikat adalah hukum nasional.

Indonesia tidak dapat memberlakukan pernikahan sesama jenis ke dalam bentuk regulasi. Sebab, pernikahan sesama jenis bertentangan dengan ideologi negara, Pancasila, dan konstitusi Indonesia. Konstitusi Indonesia menganut asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai core Pancasila yang menunjukkan bila bangsa Indonesia merupakan bangsa beragama. Sebagai bangsa beragama, sudah sejatinya menolak pernikahan sesama jenis karena perilaku menyimpang.

Indonesia itu, di samping DUHAM PBB, landasan filosofis HAM-nya adalah sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sebagai bangsa beradab, tentu Indonesia menolak penyimpangan seksual komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT).

Komunitas LGBT Indonesia seolah mendapat energi baru setelah pada Jumat (26/6/2015) Mahkamah Agung AS membolehkan pernikahan sesama jenis di seluruh wilayah Amerika (50 negara bagian). Padahal, sebelumnya baru 37 negara bagian saja.

Sebagai buntutnya, di Indonesia, beberapa publik figur mendukung putusan MA AS ini. Mereka seakan menanti aturan itu juga diberlakukan di Indonesia. Walaupun sebagian besar menolak.

UU yang ada pun telah dengan tegas menutup celah bagi pernikahan sesama jenis ini. Contohnya, aturan tentang perkawinan pada Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 menyebutkan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

UU ini perwujudan dan bentuk komitmen bangsa Indonesia untuk membangun NKRI yang mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Budaya dan agama-agama di Indonesia juga bersepakat perkawinan sesama jenis merupakan aib dan perbuatan amoral yang harus ditolak, bahkan dikategorikan perbuatan dosa.

Indonesia memang bukan negara agama, melainkan menganut asas Ketuhanan Yang Maha Esa di mana semua warga negara Indonesia adalah orang beragama. Sudah sejatinyalah Indonesia melarang pernikahan sesama jenis ini. Pembolehan perkawinan sesama jenis, bukan saja tidak sesuai HAM Indonesia, yaitu HAM yang adil dan beradab, tetapi juga akan melampaui keadaban kita sebagai bangsa.

Per 1 Januari 2015, tercatat ada 17 negara yang undang-undangnya telah melegalkan perkawinan sesama jenis. Dan, akan menyusul banyak negara lain. Silakan, tanya ke komisioner Komnas HAM RI dan politikus negeri ini, apakah mereka akan melegalkan perkawinan sesama jenis di Indonesia?

Sekarang sih saya yakin jawabannya, "Tidak"! Namun, 20-30 tahun lagi, bergantung cuacanya. Jika itu membuat mereka terpilih, akan banyak komisioner dan politikus yang menyetujui.

Ini tidak berlebihan. Silakan cek di negara-negara lain. Hingga 1950, tidak ada satu pun negara yang melegalkan perkawinan ini, tapi dunia berubah sangat cepat. Kelompok pendukung kebebasan semakin besar, kelompok yang tidak peduli, "i dont care" semakin banyak, sistem demokrasi mempercepat legalisasi perkawinan sesama jenis. Sah, atas nama kebebasan.

Semua agama melarang perkawinan sesama jenis. Tapi demokrasi tidak mengenal kitab suci. Semua tahu, bahkan homo atau lesbi kelas berat masih santai pergi ke tempat-tempat ibadah. Mereka hanya mengenal suara terbanyak.

Brasil, Mei 2011, melegalkan perkawinan sesama jenis. Apakah orang Brasil tidak beragama? Sebanyak 90 persen lebih penduduk mereka konon beragama. Lantas, apakah tidak ada di sana yang keberatan? Jawabannya: Mayoritas tutup mata. I dont care. Yang sesama pria atau sesama wanita mau ciuman di tempat umum pun, EGP (emang gua pikirin). Toh, mereka tidak mengganggu saya.

Itulah kemenangan besar paham kebebasan. Mereka masuk lewat tontonan, bacaan, menumpang lewat kehidupan glamor para publik figur. Masyarakat dibiasakan melihat sesuatu yang sebenarnya mengikis kehadiran agama. Awalnya jengah, lama-lama terbiasa, untuk kemudian, apa salahnya?

Di sisi lain, eksistensi agama dipertanyakan. Tuh lihat, toh yang beragama juga bejat. Fobia agama dibentuk secara sistematis, dimulai dari pemeluknya. Kemudian, mereka yang gamang, mulai mengangguk, benar juga. Mereka jadi malas mendengarkan nasihat agama, buat apa?

Rumus ini berlaku sama di seluruh dunia. Fase dan strateginya juga sama. Dekatkan mereka dengan materialisme dunia, jauhkan dari nilai-nilai luhur, gunakan teknologi untuk mempercepat prosesnya. Internet, misalnya, efektif sekali menyebarkan berita, propaganda, dan sebagainya.

Apakah Indonesia juga akan demikian? Silakan tunggu 20-30 tahun lagi. Jika tidak ada yang membangun benteng pemahaman bagi generasi berikutnya, tidak ada yang membangun pertahanan tangguh, malah sibuk saling sikut berkuasa, sibuk berebut urusan dunia, 20-30 tahun lagi, mungkin kita atau generasi bangsa kita akan menyaksikan pasangan sesama pria atau sesama wanita bermesraan di ruang-ruang publik.

Tetangga sebelah rumah kita adalah pasangan sesama jenis dan mereka dilindungi UU karena sudah dilegalkan. Ketika masa itu tiba, Anda boleh kembali mengunduh tulisan ini.

Pedulilah! Hidup ini bukan cuma urusan pribadi. Hidup ini tentang saling menjaga, menasihati, meluruskan. Pedulilah, saudaraku. Ikut menyebarkan pemahaman baik, lindungi keluarga, kawan, remaja, dan semua orang yang bisa kita beritahu agar menjauhi perilaku melanggar aturan agama, nilai-nilai kesusilaan, dan norma-norma kemanusiaan yang adil dan beradab. 

Maneger Nasution
Komisioner Komnas HAM RI

0 komentar:

Posting Komentar